Bagi saya
yang berambisi kuat dan memiliki impian besar, menjadi ibu rumah tangga (full
time mother) bukanlah mimpi saya sejak kecil. Bergelar Phd, Master, memiliki
konsultan lingkungan ternama dan usaha kuliner adalah impian-impian diawal kedewasaan
saya. Sampai sekarang apa yang saya lakukan dan perjuangkan masih ada pada
jalur untuk mencapai impian-impian itu.
Saya yang
termasuk orang berwatak koleris (dominan otak kanan, bicara, bertindak, jalan
lebih cepat dibanding rata-rata, to the point, intonasi menekan, tatapan mata
tajam), melankolis (sempurna, teliti, tertata) cukup mempengaruhi cara pandang
dan kehidupan saya. Mungkin karena watak ini pula, secara tidak langsung
lingkungan disekitar saya sering memposisikan saya sebagai pemimpin baik dalam
kelompok besar atau kecil (bisa jadi, karena teman-teman tidak mau repot untuk
mengatur segala kegiatan/keperluan acara dan saya adalah korbannya *miris*).
Ternyata tidak
hanya itu, ambisi saya untuk menjadi seorang wanita karir yang saya sebut wonder woman menjadikan saya sedikit
parno tentang pernikahan. Beranjak usia 20an yang diwarnai berita dan undangan
pernikahan teman-teman membuat saya sedikit takut saat membayangkan menjadi
seorang istri, kemudian hamil dan memiliki anak. Bukan takut karena tidak ingin
menjalaninya tapi takut akan ketidak mampuan saya menjadi seorang istri yang soleh
dan seorang ibu yang baik. Hal ini lah yang membuat saya menargetkan usia
pernikahan cukup jauh saat itu.