Kamis, 29 Januari 2015

Tidak Tahu atau Tidak Mau Tahu

Minggu lalu saya menghadiri sebuah  pertemuan kepala BNP2TKI dengan tenaga kerja indonesia di Taiwan sebagai perwakilan dari PPI. Jika saja hari itu saya memilih untuk tidak mau tahu dan memilih menghabiskan waktu berleha-leha di kamar, saya sangat yakin jika saya tidak akan pernah tahu tentang kondisi dan permasalahan tenaga kerja indonesia di Taiwan. Miris adalah satu kata yang dapat mewakili kondisi mereka saat ini. Bagaimana bisa pemerintah Indonesia masih memandang para TKI dengan sebelah mata layaknya anak tiri saat TKI diseluruh dunia yang mayoritasnya adalah pembantu rumah tangga adalah sumber devisa negara yang angkanya mencapai puluhan bahkan ratusan triliun per tahunnya seperti apa yang bapak kepala BNP2TKI katakan dalam sambutannya.

Sedih hati ini saat beberapa TKW yang bekerja sebagai PRT menceritakan secara langsung keadaan mereka yang gaji atau UMR mereka tidak pernah naik selama lebih dari satu dekade, yang tidak memiliki jatah libur walau sehari dalam seminggu, yang kartu identitas dan Passportnya ditahan, belum lagi yang disiksa majikan saat majikan mabuk. Tidak hanya pekerja wanita, telinga ini pun mendengar keluhan para pekerja laki-laki yang merasa diperlakukan layaknya mesin yang beroperasi 24jam tanpa instirahat. Inikah yang mereka katakan bahwa waktu adalah uang? Sampai jatah tubuh beristirahat saja tidak mereka relakan karena tidak mau rugi.
Lalu, siapakah yang harus disalahkan? Majikan mereka yang meberi mereka pekerjaan dengan segudang peraturan? Pemerintah Taiwan yang tidak pro pada kemauan TKI? Pemerintah Indonesia yang kurang peka dan peduli pada warganya yang menjadi pahlawan devisa negara? Atau para TKI itu sendiri yang memilih bekerja di luar dengan resiko yang sudah jelas di depan mata?

Momentum May day, saat ATKI Taiwan meminta kenaikan gaji pada tahun 2013 yang hingga kini tak kunjung terjadi. Mirisssss,.

Sulit jika harus mencari siapa yang salah layaknya bola yang tak dapat dicari dimana ujungnya. Maka, lebih baik dicari solusinya,.

Apakah solusinya menurut mu?

Note: Setelah mengetahui secuil tentang mereka, kini saya mengerti mengapa mereka sensitif sekali dengan kami para mahasiwa. Beberapa kali saya bertemu bahkan berpapasan langsung dengan mereka di tempat-tempat umum, tapi jarang sekali dari mereka membalas senyum atau memberi salam yang jelas tahu bahwa kami adalah Indonesian. Bahkan pertama kali bertanya dan berbincang dengan segerombol TKI disebuah tempat wisata, mereka menjadi kurang ramah saat mengetahui saya seorang mahasiswa. Masih ingat salah seorang dari mereka berkata pada saya dengan nada sinis “situ enak, disini buat sekolah, banyak waktu mainnya, bebas. Saya disini kerja mbak”.
Mengingat hal-hal tentang mereka, rasanya harus ada yang saya dan teman-teman lakukan untuk mereka. Bukankah biaya sekolah, uang makan, uang yang para mahasiswa beasiswa dari pemerintah gunakan adalah bersumber dari mereka juga sebagai rakyat Indonesia?
Tak tahu malu dan tak tahu diri jika masih saja tak mau tahu dan berdiam diri,.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar