Minggu lalu saya menghadiri
sebuah pertemuan kepala BNP2TKI dengan
tenaga kerja indonesia di Taiwan sebagai perwakilan dari PPI. Jika saja hari
itu saya memilih untuk tidak mau tahu dan memilih menghabiskan waktu berleha-leha
di kamar, saya sangat yakin jika saya tidak akan pernah tahu tentang kondisi dan
permasalahan tenaga kerja indonesia di Taiwan. Miris adalah satu kata yang
dapat mewakili kondisi mereka saat ini. Bagaimana bisa pemerintah Indonesia
masih memandang para TKI dengan sebelah mata layaknya anak tiri saat TKI
diseluruh dunia yang mayoritasnya adalah pembantu rumah tangga adalah sumber
devisa negara yang angkanya mencapai puluhan bahkan ratusan triliun per
tahunnya seperti apa yang bapak kepala BNP2TKI katakan dalam sambutannya.
Sedih hati ini saat beberapa TKW
yang bekerja sebagai PRT menceritakan secara langsung keadaan mereka yang gaji atau
UMR mereka tidak pernah naik selama lebih dari satu dekade, yang tidak memiliki
jatah libur walau sehari dalam seminggu, yang kartu identitas dan Passportnya
ditahan, belum lagi yang disiksa majikan saat majikan mabuk. Tidak hanya
pekerja wanita, telinga ini pun mendengar keluhan para pekerja laki-laki yang
merasa diperlakukan layaknya mesin yang beroperasi 24jam tanpa instirahat.
Inikah yang mereka katakan bahwa waktu adalah uang? Sampai jatah tubuh
beristirahat saja tidak mereka relakan karena tidak mau rugi.
Lalu, siapakah yang harus
disalahkan? Majikan mereka yang meberi mereka pekerjaan dengan segudang
peraturan? Pemerintah Taiwan yang tidak pro pada kemauan TKI? Pemerintah
Indonesia yang kurang peka dan peduli pada warganya yang menjadi pahlawan
devisa negara? Atau para TKI itu sendiri yang memilih bekerja di luar dengan
resiko yang sudah jelas di depan mata?
![]() |
Momentum May day, saat ATKI Taiwan meminta kenaikan gaji pada tahun 2013 yang hingga kini tak kunjung terjadi. Mirisssss,. |
Sulit jika harus mencari siapa
yang salah layaknya bola yang tak dapat dicari dimana ujungnya. Maka, lebih
baik dicari solusinya,.
Apakah solusinya menurut mu?
Note: Setelah mengetahui secuil
tentang mereka, kini saya mengerti mengapa mereka sensitif sekali dengan kami
para mahasiwa. Beberapa kali saya bertemu bahkan berpapasan langsung dengan
mereka di tempat-tempat umum, tapi jarang sekali dari mereka membalas senyum
atau memberi salam yang jelas tahu bahwa kami adalah Indonesian. Bahkan pertama
kali bertanya dan berbincang dengan segerombol TKI disebuah tempat wisata,
mereka menjadi kurang ramah saat mengetahui saya seorang mahasiswa. Masih ingat
salah seorang dari mereka berkata pada saya dengan nada sinis “situ enak,
disini buat sekolah, banyak waktu mainnya, bebas. Saya disini kerja mbak”.
Mengingat hal-hal tentang mereka,
rasanya harus ada yang saya dan teman-teman lakukan untuk mereka. Bukankah
biaya sekolah, uang makan, uang yang para mahasiswa beasiswa dari pemerintah gunakan
adalah bersumber dari mereka juga sebagai rakyat Indonesia?
Tak tahu malu dan tak tahu diri
jika masih saja tak mau tahu dan berdiam diri,.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar