Bagi warga negara dengan penduduk
mayoritas muslim, jilbab bukan sesuatu yang baru, bukan hal aneh, tapi tidak
bagi negara minoritas yang bahkan kebanyakan pendudukanya tidak beragama.
Muslimah berjilbab adalah hal yang amat langka, maka jika ia ditemui di
keramaian akan sangat berpeluang menjadi perhatian. Ini pengalaman saya, pernah
dikira tidak berambut karena menutup kepala dengan kain, dikira jilbab adalah
pakaian adat sebagai orang indonesia, dikira jilbab adalah trend fashion yang
hari ini saya pakai dan bisa saya lepas keesokannya. Dilihat aneh bahkan pernah
ditertawai anak kecil itu biasa, saya justru merasa bangga menjadi berbeda
dengan identitas saya sebagai seorang muslimah.
Beberapa waktu yang lalu di awal
kedatangan saya di negeri formosa ini, saya pergi ke klinik kampus untuk
konsultasi dan memeriksa kesehatan saya. Kebetulan dokter jaga yang bertugas
adalah seorang dokter wanita paruh baya. Dengan ramah sang dokter
mempersilahkan saya duduk kemudian memeriksa suhu tubuh, kesehatan mulut, tenggorokan,
seperti dokter pada umumnya. Selesai melakukan pemeriksaan, proses konsultasi
dimulai dengan sebuah pertanyaan latar belakang kesehatan saya, seperti alergi
dan penyakit parah apa yang pernah dialami. Tanya jawab berlangsung seperti
pada umumnya, namun saat saya melihat mata ibu dokter seperti ada ungkapan yang
tertahan. Saya tersenyum kemudian terdengarlah kata “you are beautiful”,
beberapa detik memastikan apa yang baru ibu dokter katakan lalu saya menimpali
“thank you”. Berjalan keluar dari klinik saya memikirkan apa yang dokter
katakan pada saya tentang kesehatan saya dan teringat pujiannya untuk saya.
Apakah dokter itu memberikan pujian dengan tulus dan jujur atau sebagai dokter
ia terbiasa mencairkan suasana dengan melemparkan pujian kepada pasien. Apapun
alasannya saya merasa senang, bukan karena cantik yang ditujukan pada saya tapi
atas sebuah pengakuan dari seseorang yang bukan muslimah bahkan belum tentu
tahu tentang apa itu islam, apa itu hijab, kenapa kami seorang muslimah menutup
aurat kami, bahwa wanita cantik itu
tidak selamanya “terbuka”. Maka jika ada seorang muslimah yang menunda untuk
menutup auratnya karena takut tidak terlihat cantik seelah menutup auratnya,
saya rasa justru dengan “menutup” kecantikan seorang wanita akan terpancar
dengan cara yang lain. Cantik yang elegan, cantik yang tidak semua wanita
cantik kebanyakan tunjukan. Be different, be special.
Kejadian lainnya yang semakin
meyakinkan saya jika cantik itu tidak selamnya “terbuka” adalah ketika saya
pergi bebelanja ke sebuah mini market di tengah kota Taipei. Memilih-milih
bahan makanan mentah yang akan saya masak di sebuah mini market adalah salah
satu hobi saya. Sedang asik memilih tiba-tiba seorang lelaki berumur 40an
menunjukan bahan mana yang memiliki kualitas bagus. Masih berada di samping
saya, ia bertanya dalam bahasa mandarin yang artinya “kamu berasal dari mana?”,
saya pun menjelaskan jika saya adalah seorang mahasiswi asal indonesia. Ia
kemudian bertanya lagi yang tidak saya mengerti sehingga keluarlah kata-kata
ampuh dari mulut saya yang menjelaskan jika saya tidak pandai berbahasa
mandarin. Ia mengangguk kemudian mengakhiri dengan kata “kamu cantik, saya baru
tahu kalau orang Indonesia juga cantik”. Saya tertawa dalam hati, “ini bapak
belum tau artis Indo kali ya, kan banyak banget yang cantik-cantik. Tapi sekali
lagi, ia mengungkapkan sebuah pujian dengan santun pada saya yang “tertutup”.
Cantik, sebuah kata yang jika
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris adalah beautiful. Kata feminim yang biasa
ditujukan kepada wanita yang bagi saya memiliki makna yang abstrak sehingga
setiap kepala memiliki cara untuk menjelaskan makna dari kata cantik. Terlebih
dari itu yang lebih penting adalah sebuah pengakuan atas identitas kami sebagai muslimah di negeri
minoritas ini, bahwa kami bukan alien, tidak aneh, dan tidak “jelek”. Maka
berbanggalah atas identitas mu,.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar